Narasi Pop Culture Jangan Sampai Geser Semangat Nasionalisme di Hari Kemerdekaan

oleh -1 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Fajar Dwi Santoso )*

Berbagai macam narasi pop culture yang belakangan ini terus menggempur para generasi muda Indonesia, utamanya di era pesatnya perkembangan teknologi dan informasi termasuk adanya anime One Piece, jangan sampai menggeser semangat nasionalisme kalangan pemuda terutama saat momen hari kemerdekaan RI.

banner 336x280

Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, publik kembali dihadapkan pada perdebatan tentang identitas nasional. Salah satu fenomena yang menyita perhatian belakangan ini terjadi pada saat sejumlah masyarakat mengibarkan bendera bajak laut dari serial anime One Piece.

Aksi tersebut kemudian mencuat di berbagai media sosial, dan menyulut diskusi mengenai di mana letak persis batas antara ekspresi budaya populer dan penghormatan terhadap simbol negara.

Kondisi ini mencerminkan adanya dinamika baru dalam relasi antara generasi muda dan nasionalisme. Budaya pop global, terutama yang diimpor dari Jepang dan Korea Selatan, tidak bisa dimungkiri bahwa memang telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat selama ini, terutama para anak muda.

Namun, ketika simbol budaya fiksi seperti bendera Jolly Roger tersebut justru dikibarkan pada momen sakral kemerdekaan, muncul kekhawatiran bahwa bisa jadi budaya pop itu mulai menggeser semangat nasionalisme generasi muda bangsa.

Ketua DPP Partai Nasdem yang juga Ketua Komisi XIII DPR, Willy Aditya, menilai bahwa pengibaran bendera anime tersebut merupakan bentuk ekspresi politik dari sebagian masyarakat, khususnya generasi muda.

Namun, ia melihat ekspresi tersebut diarahkan ke sasaran yang keliru. Gugatan terhadap pemerintah, jika tidak disalurkan dengan pemahaman yang baik, berisiko mengaburkan perbedaan antara negara dan penguasa. Kekeliruan dalam menyampaikan protes dapat mereduksi semangat cinta tanah air dan memperlemah pemahaman kebangsaan.

Menurut Willy, tindakan tersebut juga menunjukkan minimnya literasi tentang makna simbol negara. Masyarakat perlu membedakan antara ketidakpuasan terhadap pemerintah dan bentuk penghinaan terhadap institusi kenegaraan.

Walaupun ia tidak menganggap aksi tersebut sebagai pelanggaran serius selama tidak melecehkan bendera Merah Putih, Willy menekankan pentingnya ruang dialog terbuka antara rakyat dan negara. Menurutnya, ketika ruang dialog tertutup, ekspresi semacam itu akan bermunculan sebagai bentuk pelampiasan sosial yang kurang proporsional.

Sementara itu, Ketua MPR RI Ahmad Muzani memandang fenomena pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk kreativitas yang tidak lantas menghapus semangat merah putih dari hati rakyat Indonesia.

Muzani percaya bahwa masyarakat, terutama generasi muda, tetap menyimpan kecintaan mendalam terhadap simbol negara. Ia menekankan bahwa momen HUT ke-80 RI harus dimaknai sebagai ajakan untuk merenungi perjuangan para pahlawan dengan cara menghormati simbol negara melalui pengibaran bendera Merah Putih.

Dalam pandangannya, semangat kemerdekaan tidak boleh tereduksi oleh tren budaya pop yang bersifat sementara. Mengangkat kembali penghormatan terhadap simbol nasional bukan berarti menolak kreativitas, melainkan menempatkan nilai-nilai kebangsaan pada prioritas utama dalam ekspresi publik.

Senada dengan hal itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa bendera One Piece tidak menyalahi aturan selama tidak digunakan untuk memecah belah masyarakat. Ia memahami bahwa budaya pop, termasuk anime, memiliki tempat tersendiri di hati generasi muda.

Dasco menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari kreativitas, bukan ancaman terhadap nasionalisme, selama tidak disertai niat untuk menyinggung atau menodai makna simbol negara.

Namun, dari rangkaian pernyataan tersebut, tampak jelas bahwa urgensi penguatan nilai-nilai kebangsaan sangat diperlukan. Budaya pop, yang semakin membanjiri ruang digital dan sosial masyarakat Indonesia, berpotensi menjadi kekuatan lunak yang dapat mempengaruhi orientasi budaya dan identitas nasional.

Fenomena seperti pengibaran bendera fiksi pada momen kemerdekaan seharusnya menjadi pengingat bahwa generasi muda membutuhkan pendekatan baru dalam memahami nasionalisme.

Simbol negara seperti bendera Merah Putih tidak boleh kalah pamor dari tokoh-tokoh fiksi. Penguatan identitas nasional perlu dikemas dengan bahasa yang lebih relevan, agar mampu menyentuh hati dan nalar generasi digital.

Pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat memiliki peran strategis dalam membangun literasi kebangsaan. Edukasi sejarah perjuangan bangsa harus dikembangkan secara kreatif agar mampu bersaing dengan narasi global. Budaya lokal perlu diintegrasikan dalam media sosial, musik, film, dan karya kreatif lainnya agar tetap eksis di tengah arus budaya asing yang masif.

Generasi muda juga perlu menyadari bahwa mencintai budaya populer tidak harus mengorbankan nilai-nilai nasional. Bangga terhadap produk lokal, memahami sejarah bangsa, dan aktif menjaga simbol negara merupakan wujud kecintaan terhadap Indonesia. Nasionalisme modern bukan berarti menolak perubahan, tetapi mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan akar identitas.

Mengkritik pemerintah tentu sah dalam negara demokratis. Namun, ekspresi kritik tersebut harus diarahkan secara tepat agar tidak menjadi blunder yang merugikan semangat kebangsaan. Ketika ruang ekspresi diisi dengan literasi dan semangat membangun, maka budaya pop dapat bersinergi dengan nasionalisme, bukan menggesernya.

Dengan semangat itulah, penting bagi seluruh elemen bangsa untuk menjadikan momen kemerdekaan sebagai refleksi kolektif. Budaya pop memang tak dapat dihindari, tetapi jangan sampai narasi global tersebut mengaburkan nilai luhur yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa. Simbol kebangsaan harus tetap berdiri kokoh di tengah gempuran zaman. (*)

)* Pengamat Politik Nasional – Forum Politik Mandala Raya

[edRW]

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.