Judi Daring Ancam Masa Depan, Saatnya Bangkit Melawan

oleh -1 Dilihat
banner 468x60

Oleh : Zaki Walad )*

Di tengah kemajuan teknologi digital dan kemudahan akses informasi, masyarakat Indonesia kini menghadapi tantangan serius yang menyelinap dalam wujud hiburan semu: judi daring. Berbalut tampilan menggiurkan dan janji kekayaan instan, praktik ilegal ini telah berkembang menjadi bencana sosial baru yang menghantui berbagai lapisan masyarakat. Dibutuhkan kolaborasi seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama melawan kejahatan tersebut.

banner 336x280

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, perputaran uang dari ekosistem judi daring mencapai Rp370 triliun per tahun, dengan sekitar 8,8 juta pemain aktif pada 2024. Ironisnya, 80 persen dari mereka berasal dari kalangan ekonomi menengah dan rendah—yang justru paling rentan terdampak secara sosial maupun finansial.

Ledakan pengguna judi daring bukanlah fenomena yang datang begitu saja. Di baliknya, ada peran influencer atau figur publik yang secara terang-terangan mempromosikan situs judi berkedok “game penghasil uang”. Dengan imbalan fantastis hingga ratusan juta rupiah, mereka memancing rasa penasaran dan harapan palsu para pengikutnya, yang tidak sedikit adalah anak di bawah umur.

Data Satgas Pemberantasan Perjudian Daring mencatat, pada pertengahan 2024 setidaknya 80 ribu anak di bawah usia 10 tahun telah terlibat dalam judi daring. Sementara 440 ribu pemain lainnya berada pada rentang usia 10–20 tahun. Fenomena ini sungguh mengkhawatirkan, karena menyentuh langsung jantung masa depan bangsa: generasi mudanya.

Lebih dari sekadar kerugian uang, judi daring menyeret penggunanya dalam lingkaran adiksi dan tekanan psikologis yang sulit diputus. Dokter spesialis kejiwaan dari Rumah Sakit Cipta Mangunkusumo (RSCM), dr. Kristiana Siste Kurniasanti, menyebutkan bahwa kecanduan judi memiliki pola serupa dengan kecanduan narkoba. Aktivitas otak, khususnya di bagian prefrontal cortex, terganggu hingga menyebabkan hilangnya kontrol perilaku. Seorang pasien bisa saja sadar telah kehilangan miliaran rupiah, namun tetap terdorong untuk bermain kembali. Dorongan itu bukan karena logika, melainkan karena otaknya tak mampu menghentikan hasrat berjudi.

Dampak psikologis kecanduan ini pun tak main-main. Selain meningkatnya denyut jantung dan kecemasan, mereka yang terjebak dalam jerat judi daring berisiko tinggi mengalami depresi berat. Dalam kasus tertentu, keputusasaan itu bahkan memunculkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Tak berhenti pada individu, derita ini juga menular ke lingkungan terdekat. Keluarga menjadi korban ikutan: menanggung utang, menghadapi teror dari pinjaman online ilegal, dan ikut mengalami gangguan kesehatan mental. Ironisnya, seringkali keluarga yang terlebih dahulu mengalami depresi, sementara si pelaku justru belum menyadari bahwa ia telah rusak secara psikologis.

Sementara itu, Rektor Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Warsiti, menegaskan bahwa judi daring tak hanya merusak dari aspek keuangan. Lebih dari itu, fenomena ini menimbulkan efek domino berupa gangguan mental, kriminalitas, kehancuran relasi sosial, hingga hilangnya masa depan generasi. Psikolog RSIY PDHI Yogyakarta, Cania Mutia, bahkan menyebut judi daring sebagai fenomena gunung es. Permukaannya terlihat kecil, namun sesungguhnya jauh lebih besar dan dalam. Ia menjelaskan bahwa adiksi judi terdiri dari empat fase: euforia kemenangan, kekalahan yang memicu dendam, keterpurukan mendalam, dan akhirnya menyerah karena kehabisan segalanya atau tertangkap hukum.

Salah satu hal yang membuat fenomena ini semakin kompleks adalah keterkaitannya dengan pinjaman online ilegal. Banyak penjudi yang saat kalah, lantas mencari jalan pintas untuk menutup kerugiannya dengan berutang. Sialnya, ketika menang sedikit, mereka bermain lagi, dan siklus terus berulang. Bunga dan denda pinjol ilegal yang mencekik menjadi pemicu masalah baru, dari teror penagihan, kekerasan psikologis, hingga potensi tindakan kriminal.

Pemerintah tidak tinggal diam. Kementerian Sosial, bekerja sama dengan PPATK, telah mencoret 228 ribu penerima bansos yang terindikasi terlibat judi daring. Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan, langkah ini dilakukan demi memastikan bansos hanya diberikan kepada yang benar-benar layak. Sementara itu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mencatat ada sekitar 1,7 juta rekening mencurigakan dari total 10 juta yang disampaikan Kemensos, dan sebagian di antaranya ternyata tak menerima bansos sama sekali—indikasi penyalahgunaan sistem untuk kegiatan ilegal. Pemerintah berkomitmen memperketat skrining dan validasi penerima bansos agar bantuan sosial tidak disalahgunakan untuk membiayai aktivitas terlarang seperti judi daring.

Semua pihak—dari individu, keluarga, masyarakat sipil, hingga negara—harus bahu-membahu melawan wabah ini. Judi daring bukan sekadar kejahatan digital, melainkan penyakit sosial yang berakar dalam dan merusak banyak sendi kehidupan. Perlu pendekatan yang komprehensif: regulasi ketat, literasi digital, rehabilitasi psikologis, hingga kampanye publik yang intensif. Sekolah, tempat ibadah, dan komunitas lokal bisa menjadi ujung tombak pencegahan. Influencer juga perlu bertanggung jawab terhadap konten yang mereka sebar, bukan justru menjadi bagian dari masalah.

Melawan judi daring bukan hanya tugas pemerintah, tetapi kewajiban kolektif sebagai bangsa yang ingin maju dan sehat. Mari jaga masa depan anak-anak kita dari racun digital yang menggerogoti tanpa ampun ini. Sebelum lebih banyak mimpi dikorbankan dan nyawa melayang sia-sia, saatnya kita bersatu menyuarakan: cukup sudah judi daring merusak Indonesia.

)* Penulis adalah kontributor Jaringan Muda Indonesia Maju (JMIM)

[ed]

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.