Oleh : Umar Adisusanto )*
Menjelang peringatan momentum sakral, yakni Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, ruang publik justru kembali diguncang oleh adanya gelombang tren yang sama sekali tidak sejalan dengan semangat nasionalisme bangsa.
Munculnya fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece di berbagai wilayah, terutama pada kendaraan besar seperti truk, sontak memantik keresahan luas dari berbagai pihak.
Aksi tersebut sejatinya bukan hanya sekadar bentuk ekspresi kebudayaan pop saja, melainkan merupakan sebuah bentuk provokasi yang dapat mengarah pada pelecehan terhadap simbol negara.
Simbol Jolly Roger, yakni bendera hitam bergambar tengkorak yang mengenakan topi jerami dalam narasi fiksi serial berjudul One Piece tersebut merupakan sebuah lambang perlawanan terhadap otoritas yang dianggap menindas.
Namun ketika dikibarkan dalam konteks menjelang momentum yang sangat sakral bagi seluruh masyarakat Indonesia, yakni Hari Kemerdekaan, terutama bersanding atau bahkan justru menggantikan bendera Merah Putih, tindakan itu beralih menjadi bentuk penyimpangan simbolik yang jelas sangat berbahaya.
Terkait hal itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menanggapi dengan sangat serius penyebaran simbol tersebut. Ia menyampaikan bahwa lembaga-lembaga intelijen telah melaporkan adanya indikasi yang kuat tentang adanya gerakan secara sistematis yang menggunakan simbol non-negara dan bertujuan untuk mengacaukan persatuan nasional.
Menurutnya, gelombang pengibaran bendera bajak laut menjelang momen sakral seperti 17 Agustus seperti ini sama sekali tidak bisa dianggap sepele. Tindakan tersebut sangat berpotensi menjadi alat untuk menciptakan perpecahan di tengah kemajuan yang tengah diraih bangsa.
Dasco menggarisbawahi bahwa momentum kemerdekaan seharusnya menjadi ajang pemersatu seluruh elemen masyarakat. Kemunculan simbol fiksi yang menyaingi posisi simbol negara tersebut jelas hanya akan mengaburkan makna perjuangan dan kemerdekaan itu sendiri.
Ia juga tidak menutup kemungkinan adanya campur tangan dari pihak asing yang terus berusaha untuk mengganggu stabilitas nasional di tengah proses pembangunan yang tengah dipercepat oleh pemerintah di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Nada yang sama juga datang dari Wakil Ketua Fraksi Golkar MPR Firman Soebagyo. Ia menilai aksi pengibaran bendera One Piece sebagai provokasi yang terstruktur dan berpotensi menjatuhkan wibawa pemerintahan.
Menurutnya, simbol bajak laut tersebut bukan sekadar ekspresi kebebasan kreatif, melainkan upaya manipulatif yang dapat memengaruhi opini publik dan memperlemah kecintaan terhadap negara.
Firman mendorong aparat untuk mengambil langkah hukum secara tegas. Ia menilai bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar norma sosial, tetapi juga memiliki unsur makar secara simbolik.
Pemeriksaan terhadap pelaku maupun pihak-pihak yang terlibat perlu segera dilakukan. Langkah tersebut penting sebagai bentuk pembinaan dan penguatan kembali kesadaran kolektif terhadap pentingnya menjaga kehormatan simbol negara.
Sosiolog dari Universitas Parahyangan, Garlika Martanegara, memberikan perspektif yang lebih sosiologis. Ia melihat bahwa penyebaran tren bendera bajak laut mencerminkan dua hal utama: rendahnya literasi digital masyarakat serta terkikisnya nilai-nilai nasionalisme dalam sistem pendidikan saat ini.
Banyak pengguna media sosial, khususnya generasi muda, cenderung menelan informasi viral secara mentah tanpa menyaring kebenarannya. Ketika simbol seperti Jolly Roger dikemas sebagai ikon kebebasan dan perlawanan terhadap ketidakadilan, sebagian masyarakat langsung meresponsnya secara emosional tanpa memahami konteks sebenarnya.
Garlika menyayangkan absennya program-program pembentukan karakter nasional di sekolah. Tradisi seperti upacara bendera, penghormatan terhadap simbol negara, atau pelajaran P4 yang dahulu menanamkan kecintaan pada tanah air, perlahan tergerus oleh kurikulum yang semakin teknokratis. Akibatnya, generasi baru cenderung mencari simbol-simbol perlawanan yang dangkal, lalu mengangkatnya menjadi ekspresi sosial yang keliru arah.
Fenomena seperti pengibaran bendera bajak laut menjadi jauh lebih serius ketika dilakukan menjelang Hari Kemerdekaan. Penggunaan simbol asing yang mengandung pesan perlawanan terhadap sistem, dalam konteks negara merdeka, hanya akan menciptakan disonansi makna dan memperlemah rasa hormat terhadap perjuangan para pendiri bangsa. Bendera Merah Putih bukanlah sekadar kain, melainkan manifestasi dari pengorbanan, darah, dan nyawa para pahlawan.
Dalam perspektif hukum, pengibaran bendera non-negara sejatinya tidak secara eksplisit dilarang, selama tidak menurunkan martabat bendera negara. Namun Pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 secara tegas melarang tindakan yang menghina, merendahkan, atau menyamakan kedudukan simbol negara dengan simbol lain, terutama dalam konteks publik yang bersifat resmi atau sakral. Mengibarkan Jolly Roger bersamaan dengan Merah Putih dalam perayaan 17 Agustus berpotensi menabrak norma tersebut.
Perlu dipahami bahwa tidak semua tren media sosial layak ditiru tanpa pertimbangan. Keberadaan simbol dalam masyarakat bukan hanya soal visual atau desain, tetapi mengandung makna, sejarah, dan nilai.
Ketika simbol asing mendapatkan panggung yang sama dengan simbol kenegaraan dalam peringatan kemerdekaan, hal tersebut menunjukkan adanya krisis identitas kolektif yang perlu segera dibenahi.
Menjaga kehormatan simbol negara bukanlah tugas segelintir pihak. Pemerintah, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, dan media harus berperan aktif dalam membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya merawat jati diri bangsa.
Dalam momentum peringatan kemerdekaan, sudah semestinya Merah Putih berkibar sendirian di atas segala simbol lainkarena hanya ia yang mewakili semangat perjuangan dan kemerdekaan sejati. (*)
)* Penulis adalah pengamat sosial politik