Oleh : Dirandra Falguni )*
Dalam beberapa waktu terakhir, wacana revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) kembali mencuat ke permukaan. Rencana revisi ini mengundang perhatian publik, terutama karena beberapa poin yang dianggap kontroversial dan berpotensi mengubah wajah institusi Polri secara signifikan. Di tengah dinamika politik yang kian kompleks, masyarakat perlu mewaspadai potensi provokasi yang menyertai wacana ini.
Wacana revisi UU Polri tidak lepas dari permainan narasi yang sengaja dibentuk untuk membentuk opini publik. Salah satu bentuk provokasi yang perlu diwaspadai adalah penggunaan isu keamanan nasional atau ketertiban umum sebagai justifikasi perluasan kewenangan kepolisian. Narasi seperti ini dapat membuat masyarakat menerima revisi secara pasif, tanpa menyadari dampak jangka panjangnya terhadap kebebasan sipil.
Selain itu, ada pula narasi yang menyudutkan pihak-pihak yang kritis terhadap revisi, seolah-olah mereka tidak mendukung negara atau bahkan anti-polisi. Ini adalah bentuk polarisasi yang bisa memecah belah masyarakat, padahal kritik terhadap institusi negara merupakan bagian sah dari demokrasi.
Padahal, pihak DPR sendiri menyatakan belum mulai membahas beleid tersebut dikarenakan memang belum adanya Surat Presiden (Surpres). Ketua DPR RI, Puan Maharani menegaskan pihaknya belum menerima Surpres soal rancangan undang-undang (RUU) terkait perubahan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Dia menyebut draf RUU Polri yang beredar di media sosial bukan draf resmi.
Puan juga memastikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Polri yang beredar saat ini bukan draf resmi. Sebab pimpinan DPR hingga saat ini belum menerima Surpres terkait RUU tersebut.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni menyebutkan bahwa DPR tak bisa menutup-nutupi terkait sidang pembahasan RUU Polri. Oleh karena itu, Sahroni meminta jangan ada ketakutan seolah-olah DPR menutupi pembahasan RUU tersebut. Senada dengan Puan, Sahroni mengatakan hingga saat ini Surpres RUU Polri belum masuk ke DPR sehingga belum ada pembahasan mengenai RUU tersebut. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum menyerahkan draft revisi UU Polri versi pemerintah. DPR masih akan terus memantau bagaimana sikap dan pernyataan resmi pemerintah terhadap revisi UU yang telah berlaku selama 23 tahun itu.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menyebutkan revisi UU Polri belum akan dibahas dalam waktu dekat. Dasco mengklaim belum ada Supres ihwal RUU Polri. RUU Polri termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Ketua Kelompok Fraksi Partai Nasdem Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengatakan pihaknya siap membahas revisi UU Polri jika dianggap mendesak. Namun, saat ini Komisi III DPR masih memprioritaskan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP, yang ditargetkan rampung pada Oktober 2025.
DPR RI telah memiliki rekam jejak dalam mengedepankan transparansi dalam pembahasan revisi KUHAP. Pendekatan serupa juga akan diterapkan dalam revisi UU Polri, di mana berbagai pihak akan diundang untuk memberikan masukan, termasuk akademisi, praktisi hukum, serta organisasi masyarakat sipil yang memiliki kompetensi di bidang kepolisian dan hukum pidana.
DPR juga memastikan bahwa revisi UU Polri akan menjadi contoh transparansi dalam legislasi. Setiap tahapan pembahasan akan disampaikan secara jelas kepada publik dan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Dengan demikian, regulasi yang dihasilkan nantinya akan memiliki legitimasi yang kuat serta dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat.
Pemerintah dan DPR telah menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga keterbukaan serta partisipasi publik dalam pembahasan revisi UU Polri. Hingga saat ini, DPR masih menunggu Surpres dari pemerintah sebagai dasar resmi untuk membahas regulasi ini.
Regulasi yang diperbarui ini nantinya akan memberikan kepastian hukum yang lebih jelas bagi aparat kepolisian dalam menjalankan tugas penegakan hukum, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, revisi ini juga bertujuan untuk memperkuat mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap institusi kepolisian agar tetap transparan, akuntabel, serta berorientasi pada kepentingan publik.
Munculnya berbagai narasi negatif mengenai wacana revisi UU Polri patut disikapi secara bijak oleh masyarakat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi harus aktif mengawasi proses legislasi, namun jangan mudah terhasut isu-isu yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Jika publik apatis, maka ruang partisipasi akan diisi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang bisa saja memiliki agenda terselubung.
Dalam konteks ini, revisi UU Polri bukan sekadar isu teknis, melainkan berkaitan langsung dengan masa depan demokrasi dan kebebasan warga negara. Dengan melakukan pengawasan, masyarakat bisa mendorong agar revisi dilakukan secara bijak, berbasis kebutuhan riil di lapangan, dan tidak semata-mata untuk memperkuat posisi politik pihak tertentu. Media massa juga memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi secara objektif dan tidak terjebak pada narasi tunggal. Upaya jurnalisme investigatif dan forum-forum diskusi publik dapat menjadi saluran untuk membuka ruang debat yang sehat dan mencerahkan.
)* Penulis adalah Kontributor Beritakapuas.com